Sr. Sigit Widyatmoko, SpPD
Sebut saja wanita separuh baya berjilbab itu Tina. Saya bertemu dengannya hampir tiga tahun yang lalu di Meulaboh, Aceh Barat. Ketika itu saya menjadi relawan bencana gempa bumi dan tsunami, utusan dari RS Sardjito Yogyakarta. Tina sebenarnya adalah perawat di bagian kamar operasi RSU Meulaboh. Peristiwa tsunami membuatnya dipindah ke bagian penyakit dalam.
”Waktu itu air sudah setinggi leher saya, Dok. Rumah saya sudah terendam. Pikiran saya hanya bagaimana menyelamatkan anak saya. Dengan memakai tandu bersama suami saya angkat anak saya dua orang, berjalan di tengah luapan air sejauh lima kilometer menuju bukit. Setiap kali gelombang air menerpa, saya berteriak, “Allahu Akbar…!”
Akhirnya Tina dan keluarganya memang selamat. Tetapi perilakunya menjadi berubah. Sebelumnya dia dikenal sebagai perawat yang kalem, tenang, dan percaya diri. Setelah peristiwa itu dia menjadi sosok yang sering gugup, mudah menangis, dan minderan. Kadang-kadang kalau melamun dia berteriak takbir. Pimpinan rumah sakit kemudian memindahkannya ke bangsal penyakit dalam karena dikhawatirkan dapat mengganggu pelaksanaan operasi.
Masih banyak beribu Tina lain di Aceh. Survei bersama yang dilakukan Universitas Syiah Kuala, IOM (International Organization of Migrant), dan Universitas Harvard pada September 2006 menemukan bahwa 65% dari penduduk Aceh yang diteliti mengalami depresi, 69% mengalami gangguan cemas, dan 34% mengalami gangguan stres paska-trauma (PTSD atau post traumatic stress disorder).
Survei berikutnya yang dipublikasikan bulan Juni tahun 2007 atau hampir tiga tahun setelah tsunami menemukan hasil yang sedikit berbeda. Penelitian yang dilakukan di komunitas-komunitas berkonflik tinggi di 14 kabupaten di Aceh ini menemukan bahwa 35% penduduk mengalami gejala depresi, 10% mengalami PTSD dan 39% gejala kecemasan. Berarti tiga tahun setelah bencana gangguan kejiwaan masih dialami oleh sebagian penduduk Aceh.
Apa itu PTSD? Istilah “Post Traumatic Stress Disorder” pada mulanya ditujukan bagi para veteran perang di Amerika Serikat. Sebutan awalnya adalah “shell shock” atau “battle fatique”, yang menunjukkan suatu gangguan kejiwaan yang dialami seseorang setelah menjalani suatu pertempuran. Istilah PTSD semakin populer di Amerika Serikat terutama sejak pemerintahan George Walker Bush. Banyak serdadu Amerika mengalami PTSD setelah berperang di Afghanistan dan Irak.
Istilah PTSD kemudian diperluas tidak hanya bagi para serdadu perang. Setiap orang yang menunjukkan gejala-gejala khas setelah mengalami suatu trauma psikologis tertentu juga disebut mengalami PTSD. Trauma psikologis itu biasanya berada di luar batas-batas pengalaman manusia yang lazim terjadi. Kebalikannya adalah trauma yang berada di dalam batas-batas pengalaman misalnya duka cita akibat kematian, penyakit kronik, konflik perkawinan, atau kerugian dagang. Trauma yang terjadi tidak hanya yang dialami oleh orang yang bersangkutan, tetapi dapat juga oleh temannya, anggota keluarganya, atau bersama-sama dengan kelompoknya.
Stressor yang menghasilkan gangguan ini selain peperangan adalah bencana alam, kecelakaan alat transportasi yang hebat, dan bencana yang sengaja dibuat manusia. Contoh yang terakhir adalah pemboman, penyiksaan, dan yang paling terkenal kamp konsentrasi. Penyekapan, penyiksaan, dan pembunuhan di kamp konsentrasi memberikan pukulan mental yang sangat berat kepada para korbannya. Peneliti dari Universitas Yale, Amerika Seriat, pada tahun 1980 mengumpulkan testimoni para korban holocaust yang masih hidup. Ternyata para korban tersebut masih mengalami PTSD. Hal ini menjungkirbalikkan tesis semula bahwa trauma memiliki rentang waktu tertentu.
Menurut Sigmund Freud trauma adalah ingatan yang direpresi. Apakah setiap trauma dapat mengakibatkan PTSD? Tentu saja tidak. Sebagaimana dikemukakan di atas, hanya trauma luar biasa saja yang dapat menyebabkan PTSD. Selain itu faktor lain yang berpengaruh adalah jenis trauma, lamanya kejadian, berulangnya kejadian, latar belakang mental individu, dan tidak kalah penting yaitu dukungan dari teman dan keluarga.
Individu dengan latar belakang mental yang kuat akan tetap tegar meskipun mendapat trauma yang berat. Sebaliknya pada individu yang mudah luka (vulnerable), mendapat trauma yang kecil pun dapat mengalami PTSD. Karena itu sekelompok masyarakat yang sama-sama merasakan sebuah trauma dengan derajat yang sama belum tentu keluarannya akan sama pula.
Pengaruh hormonal juga ada walaupun masih dalam penelitian. Ada satu jenis hormon bernama dehydroepiandrosterone-S (DHEA-S) yang cukup signifikan dalam pembentukan stres. Makin tinggi level hormon ini pada seseorang, makin baik mereka mengontrol stresnya. Charles Morgan, seorang psikiatri dari National Center for Post-Traumatic Stress Disorder di West Haven, Connecticut, Amerika Serikat (AS) menganalisis 25 orang tentara lelaki sesudah mengikuti tes fisik dan psikologi pada sebuah simulasi kamp perang.
Para tentara tersebut diambil sampel ludah dan darahnya serta menjawab beberapa pertanyaan mengenai perasaan mereka terhadap lingkungannya. Mereka yang memiliki gejala seperti melanggar peraturan dan ketakutan disinyalir sebagai pengidap PTSD. Dari studi ini ditemukan bahwa tentara yang mempunyai kadar rasio DHEA-S tinggi dalam kortisolnya cenderung memiliki gejala PTSD yang rendah. Hal ini relevan dengan data pada kelompok sipil seperti pemadam kebakaran, petugas kepolisian dan anggota penolong darurat di mana pekerjaan mereka sangat terkait dengan stres.
Semua kelompok umur dapat mengalami PTSD. Gejalanya bervariasi antar-individu. Yang jelas manifestasi klinisnya tidak sekedar berupa gangguan depresi atau cemas. Gejala-gejala PTSD bisa berupa perasaan seolah-olah mengalami kembali peristiwa traumatik (flash back), mimpi buruk, kacaunya ingatan, perasaan kecewa, dan gangguan tidur atau insomnia. Juga reaksi kaget yang berlebihan dan waspada berlebihan.
Gejala lainnya adalah gangguan panik, ingin menghindari orang lain, penyalahgunaan zat, sampai dengan gangguan psikotik akut. Juga ada penyangkalan, yaitu penderita tidak ingin berhubungan lagi dengan sesuatu yang dapat mengingatkannya lagi dengan traumanya. Sebagai contoh ada penduduk Aceh yang takut melihat air pada beberapa bulan setelah tsunami. Pada kasus lain ada ibu muda yang ingin membunuh anaknya yang merupakan hasil hubungan gelapnya dengan seseorang yang kemudian tidak mau menjadi suaminya.
Pengobatan
Penanganan PTSD membutuhkan tim yang kompak dan berpengalaman. Untuk penanganan Aceh sudah banyak tim terjun dari dalam dan luar negeri. “Pusat Pengobatan Trauma Hyogo (Hyogo Institute for Traumatic Stress)” yang didirikan Profesor Hyogo,ahli penanggulangan bencana Gempa Bumi Kobe, terbang ke Aceh sejak bulan ke-2 dari bencana. Tim Jogja dari Bagian Jiwa RSUP Sardjito rutin mengirimkan dokter spesialis jiwa sejak awal penangangan bencana sampai sekarang. Demikian juga dari instansi pemerintah seperti BKKBN dan Departemen Sosial.
Metoda pengobatan yang sekarang banyak dikembangkan adalah prolonged exposure therapy, yang dapat membantu pasien menghadapi situasi yang ditakuti secara aman dan sistematis. Sasaran utama dari metoda ini adalah menghapuskan “penyangkalan “. Pasien menghabiskan banyak waktu dan energi untuk tidak berfikir atau berbicara mengenai trauma tsb. Dalam terapi ini pasien justru akan diarahkan untuk menceritakan peristiwa traumatik yang dialaminya.
Tujuannya untuk melatih otak agar otak tidak sensitif lagi pada peristiwa tersebut. Pasien juga diarahkan, diperkuat, dan diperbarui mekanisme adaptasinya. Hal ini supaya perasaan bersalah, marah, sedih, dsb dapat berkurang.
Metoda ini sekarang dikembangkan lagi menjadi virtual reality oleh Michael Kramer, psikolog klinis di Veteran Administration Hospital di Manhattan, AS, untuk menerapi veteran perang Iraq. Veteran tersebut diberikan pemandangan-pemandangan Iraq. Pasien dapat menavigasikan jalan-jalan, gedung-gedung, pasar, mobil, dan penduduk sipil. Dengan menggunakan tombol-tombol, dapat ditampilkan pemandangan seorang pria dewasa yang tersandung kemudian terjatuh di tengah jalan, dan minta tolong. Atau seorang anak laki-laki yang tampak di sudut jalan, melambaikan tangan, dan tampak sangat bersahabat. Pemandangan ini dapat memprovokasi kecemasan pada beberapa veteran yang sebelumnya mempunyai ketakutan akan tipu muslihat.
Meski ada yang menyejajarkan trauma akibat tsunami Aceh dengan tragedi holocaust, tetapi membandingkan musibah satu dengan yang lain tentu kurang etis. Tragedi lumpur Lapindo misalnya; apakah trauma yang dialami penduduk Sidoarjo ini bukan merupakan stressor yang sangat besar
Kehilangan rumah, sawah, sekolah, pekerjaan, lingkungan ramah, masjid, jalan tol, dan mungkin …. masa depan! Menurut berita sudah banyak yang terkena PTSD. Penanganannya jauh lebih komplek, karena bencanamya sampai sekarang masih terus terjadi. Apakah uang ganti rugi dapat mengembalikan senyum mereka?
Tentu akan lebih baik jika mereka dibuatkan lingkungan baru yang sebanding dengan kondisi sebelum bencana. Wallahu
No comments:
Post a Comment